LELAKI SEWINDUKU
Senja
ini hujan turun dengan deras. Pernah kutuliskan pada secarik kertas tentang
setiap tetes hujan yang membawa cerita. Senja ini saat hujan kembali menyapa
bumi, telah kubisikan kembali cerita pada setiap tetes hujan, cerita tentang
rasa yang mungkin bukan dimiliki bersama, melainkan hanya aku yang memilikinya.
Ini tentang rasa yang hanya aku saja yang memilikinya, bisa dibilang ini cinta
dalam hati. Sudah cukup lama aku menyimpan ini sendiri, sewindu sudah. Dia, iya
pada dia yang sejak sekolah menengah pertama telah menyita perhatianku sehingga
aku terjatuh pada keindahan sebuah rasa bahkan sampai saat ini aku masih bisa
menikmati keindahannya walaupun terkadang aku harus terluka karenanya.
Tak
perlu kusebut namanya disini, dia selalu saja bisa membuat aku terjatuh semakin
dalam pada rasa yang sama. Dia, lelaki yang tak terlalu rupawan, namun mampu
melakukan semua hal yang rupawan yang membuat setiap wanita meleleh bak lilin yang sedang dibakar, termasuk
aku. Dia, lelaki yang tak melimpah dengan harta, namun selalu mampu memberikan
keindahan bak permata pada setiap
wanita yang menjadi tambatan hatinya, namun sayangnya bukan aku. Dia, lelaki
yang tak memiliki tubuh seperti binaragawan, namun selalu memiliki sisi
kelembutan sikap bak magnet yang
menarik hati wanita, termasuk aku. Aku terlalu mengagumi semua yang melekat
pada dirinya, sampai-sampai aku berpikir aku ini sedang terjatuh kedalam cinta
buta, dia telah merengkuh semua sadarku.
Sewindu
sudah aku masih belum mampu melepaskan rasa ini, aku masih saja mengagumi
betapa teduh senyumannya betapa menghanyutkan tatapan matanya, aku masih saja menghidupkan
dia dalam setiap imajinasiku yang paling gelap, aku masih saja menjadikan dia
seorang ‘penghuni tetap’ di sudut ruang hati. Dia memang berada cukup dekat
denganku, bahkan sangat dekat. Tapi apalah dayaku, aku harus cukup puas keadaan
yang memang memaksaku bertahan pada posisi hanya “seorang sahabat”. Teruntuk
dia, lelaki yang sudah sewindu ini aku cintai secara diam-diam, dengarkan aku
sebentar saja,
“Awalnya,
aku cuma mengira ini cinta monyet anak ABG yang baru masuk dibangku SMP, apalagi
saat itu aku ini kakak kelasmu dan yang aku tahu kamu adalah teman
sepermainanku sejak kecil. Sewaktu SMA pun demikian, aku masih mengira ini cuma
cinta monyet saja, aku mencoba melupakan rasa ini dengan memutuskan untuk berpacaran. Tapi, lagi-lagi aku malah
membanding-bandingkan pacarku dengan
kamu, bahkan kamu aku puja-puji di depan lelaki yang berstatus taken denganku. Tega, mungkin kamu
berpikiran seperti itu tentangku yang tidak menghargai keberadaan orang yang
sedang taken denganku. Sekali lagi,
apalah dayaku ternyata rasa ini lebih besar kepadamu.
Aku merenungkan perlahan
apa alasanku lebih menyayangi kamu sehingga aku sulit melepaskan rasa sayangku
ini? tapi tidak kutemukan sedikitpun alasan itu, aku benar-benar sudah terjatuh
terlampau dalam pada rasa ini, meskipun luka selalu menggores hati. Aku tahu
mungkin kamu atau siapapun pasti berpikiran “bodohnya perempuan ini, rela
menyakiti hatinya sendiri dengan cinta yang tak kunjung dikatakan, bahkan tak
kunjung dapat balas”, tapi aku bisa apa? Untuk mengatakan yang sejujurnya saja
aku tidak punya keberanian yang cukup besar. Aku membiarkan hatiku merasakan
sesak dan terluka dengan semua cerita-cerita asmaramu yang selalu kamu
ceritakan padaku, aku membiarkan airmataku terurai akibat luka yang sebetulnya
kamu pun tak mengetahuinya. Aku anggap itu semua adalah keindahan yang memang
harus aku rasakan. Anehnya, rasaku tidak memudar akibat luka maupun rasa sesak
yang kuterima darimu. Aku semakin terjatuh dalam-dalam pada rasa yang hidup
dalam diam ini, walaupun pernah aku coba untuk move-on, bahkan move-up namun senyuman dan tatapan matamu selalu
menggagalkan semua usahaku itu. Bagaikan sebuah lirik lagu “lihatku disini kau buat kumenangis, kuingin menyerah tapi tak
menyerah. Mencoba lupakan, tapi kubertahan. Kau terindah kan slalu terindah,
aku bisa apa tuk memilikimu. Kau terindah kan slalu terindah harus bagaimana
kumengungkapkannya”. Ya, wahai lelaki sewinduku, lirik lagu itu kurasa
cukup mewakili apa yang selama ini aku rasakan. Sejujurnya, sungguh munafik
kalau aku berkata “aku tidak harap balasmu, yang penting kamu tahu”, jauh di
dalam lubuk hatiku aku berharap bisa memiliki kamu, namun memang tidak aku
paksakan karena sejatinya rasa ini tidak menuntut sampai sejauh itu. Aku
terlalu menyayangi kamu, sungguh dengan tulus menyayangi kamu. Dari jarak yang
cukup dekat, aku memandang kamu secara sembunyi-sembunyi apalagi saat kamu
memainkan tuts keyboard berimprovisasi dengan melodi seolah itu kamu lakukan
untuk mengiringiku bernyanyi, Wusssssssssssssshhhh
aku seperti terhempas oleh angin yang menyejukanku. Ah, tapi ya sudahlah.
Melalui tulisanku ini, aku pun ingin menyampaikan maaf atas kelancanganku
mencintaimu diam-diam selama sewindu, dan izinkan aku untuk tetap memelihara
rasa ini sampai aku benar-benar menyerah pada takdirku. Takdir yang membawa aku
meregenerasi rasa ini menjadi rasa sayang persaudaraan, bukan rasa antar dua
insan, cinta. Maaf, sampai saat ini
aku masih menyayangi kamu, masih dengan sembunyi-sembunyi memelukmu dalam
doaku, masih dengan sembunyi-sembunyi memandangi matamu, masih dengan
sembunyi-sembunyi mengagumi senyumanmu, masih dengan sembunyi-sembunyi segenap
hati mencintai kamu. Lelaki sewinduku, sekiranya kamu tidak terima dengan
pernyataanku ini tolong jangan kamu jauhi aku, atau berubah menjadi sungkan
terhadapku. Bijaklah dalam menanggapi rasaku ini, karena sekali lagi aku
sampaikan apalah dayaku sebagai insan yang telah Tuhan titipkan rasa yang cukup
indah? Apa dayaku untuk menolak rasa yang Tuhan berikan atas kamu? Aku hanya
akan menghilangkannya jika Tuhan sendiri yang meminta, aku hanya akan merelakan
rasa ini pergi jika Tuhan yang mengambilnya kembali dariku. Terimakasih untuk
pelajaran tentang rasa cinta selama delapan tahun ini, meskipun kamu tidak
mengajariku secara langsung namun aku belajar banyak tentang anugerah dari
Tuhan (cinta) ini, ada kesetiaan didalamnya, ada ketulusan didalamnya, ada
penantian yang panjang didalamnya, ada luka yang amat pedih didalamnya, ada
keikhlasan didalamnya, ada kerelaan hati didalamnya, ada pengertian didalamnya,
ada support yang membangun didalamnya, dan ada hati yang tangguh untuk mengakui
ini semua. Terimakasih, lelaki sewinduku.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar