Minggu, 15 November 2015

LELAKI SEWINDUKU



LELAKI SEWINDUKU

Senja ini hujan turun dengan deras. Pernah kutuliskan pada secarik kertas tentang setiap tetes hujan yang membawa cerita. Senja ini saat hujan kembali menyapa bumi, telah kubisikan kembali cerita pada setiap tetes hujan, cerita tentang rasa yang mungkin bukan dimiliki bersama, melainkan hanya aku yang memilikinya. Ini tentang rasa yang hanya aku saja yang memilikinya, bisa dibilang ini cinta dalam hati. Sudah cukup lama aku menyimpan ini sendiri, sewindu sudah. Dia, iya pada dia yang sejak sekolah menengah pertama telah menyita perhatianku sehingga aku terjatuh pada keindahan sebuah rasa bahkan sampai saat ini aku masih bisa menikmati keindahannya walaupun terkadang aku harus terluka karenanya.
Tak perlu kusebut namanya disini, dia selalu saja bisa membuat aku terjatuh semakin dalam pada rasa yang sama. Dia, lelaki yang tak terlalu rupawan, namun mampu melakukan semua hal yang rupawan yang membuat setiap wanita meleleh bak lilin yang sedang dibakar, termasuk aku. Dia, lelaki yang tak melimpah dengan harta, namun selalu mampu memberikan keindahan bak permata pada setiap wanita yang menjadi tambatan hatinya, namun sayangnya bukan aku. Dia, lelaki yang tak memiliki tubuh seperti binaragawan, namun selalu memiliki sisi kelembutan sikap bak magnet yang menarik hati wanita, termasuk aku. Aku terlalu mengagumi semua yang melekat pada dirinya, sampai-sampai aku berpikir aku ini sedang terjatuh kedalam cinta buta, dia telah merengkuh semua sadarku.
Sewindu sudah aku masih belum mampu melepaskan rasa ini, aku masih saja mengagumi betapa teduh senyumannya betapa menghanyutkan tatapan matanya, aku masih saja menghidupkan dia dalam setiap imajinasiku yang paling gelap, aku masih saja menjadikan dia seorang ‘penghuni tetap’ di sudut ruang hati. Dia memang berada cukup dekat denganku, bahkan sangat dekat. Tapi apalah dayaku, aku harus cukup puas keadaan yang memang memaksaku bertahan pada posisi hanya “seorang sahabat”. Teruntuk dia, lelaki yang sudah sewindu ini aku cintai secara diam-diam, dengarkan aku sebentar saja,
“Awalnya, aku cuma mengira ini cinta monyet anak ABG yang baru masuk dibangku SMP, apalagi saat itu aku ini kakak kelasmu dan yang aku tahu kamu adalah teman sepermainanku sejak kecil. Sewaktu SMA pun demikian, aku masih mengira ini cuma cinta monyet saja, aku mencoba melupakan rasa ini dengan memutuskan untuk berpacaran. Tapi, lagi-lagi aku malah membanding-bandingkan pacarku dengan kamu, bahkan kamu aku puja-puji di depan lelaki yang berstatus taken denganku. Tega, mungkin kamu berpikiran seperti itu tentangku yang tidak menghargai keberadaan orang yang sedang taken denganku. Sekali lagi, apalah dayaku ternyata rasa ini lebih besar kepadamu.
Aku merenungkan perlahan apa alasanku lebih menyayangi kamu sehingga aku sulit melepaskan rasa sayangku ini? tapi tidak kutemukan sedikitpun alasan itu, aku benar-benar sudah terjatuh terlampau dalam pada rasa ini, meskipun luka selalu menggores hati. Aku tahu mungkin kamu atau siapapun pasti berpikiran “bodohnya perempuan ini, rela menyakiti hatinya sendiri dengan cinta yang tak kunjung dikatakan, bahkan tak kunjung dapat balas”, tapi aku bisa apa? Untuk mengatakan yang sejujurnya saja aku tidak punya keberanian yang cukup besar. Aku membiarkan hatiku merasakan sesak dan terluka dengan semua cerita-cerita asmaramu yang selalu kamu ceritakan padaku, aku membiarkan airmataku terurai akibat luka yang sebetulnya kamu pun tak mengetahuinya. Aku anggap itu semua adalah keindahan yang memang harus aku rasakan. Anehnya, rasaku tidak memudar akibat luka maupun rasa sesak yang kuterima darimu. Aku semakin terjatuh dalam-dalam pada rasa yang hidup dalam diam ini, walaupun pernah aku coba untuk move-on, bahkan move-up namun senyuman dan tatapan matamu selalu menggagalkan semua usahaku itu. Bagaikan sebuah lirik lagu “lihatku disini kau buat kumenangis, kuingin menyerah tapi tak menyerah. Mencoba lupakan, tapi kubertahan. Kau terindah kan slalu terindah, aku bisa apa tuk memilikimu. Kau terindah kan slalu terindah harus bagaimana kumengungkapkannya”. Ya, wahai lelaki sewinduku, lirik lagu itu kurasa cukup mewakili apa yang selama ini aku rasakan. Sejujurnya, sungguh munafik kalau aku berkata “aku tidak harap balasmu, yang penting kamu tahu”, jauh di dalam lubuk hatiku aku berharap bisa memiliki kamu, namun memang tidak aku paksakan karena sejatinya rasa ini tidak menuntut sampai sejauh itu. Aku terlalu menyayangi kamu, sungguh dengan tulus menyayangi kamu. Dari jarak yang cukup dekat, aku memandang kamu secara sembunyi-sembunyi apalagi saat kamu memainkan tuts keyboard berimprovisasi dengan melodi seolah itu kamu lakukan untuk mengiringiku bernyanyi, Wusssssssssssssshhhh aku seperti terhempas oleh angin yang menyejukanku. Ah, tapi ya sudahlah.
Melalui tulisanku ini, aku pun ingin menyampaikan maaf atas kelancanganku mencintaimu diam-diam selama sewindu, dan izinkan aku untuk tetap memelihara rasa ini sampai aku benar-benar menyerah pada takdirku. Takdir yang membawa aku meregenerasi rasa ini menjadi rasa sayang persaudaraan, bukan rasa antar dua insan, cinta. Maaf, sampai saat ini aku masih menyayangi kamu, masih dengan sembunyi-sembunyi memelukmu dalam doaku, masih dengan sembunyi-sembunyi memandangi matamu, masih dengan sembunyi-sembunyi mengagumi senyumanmu, masih dengan sembunyi-sembunyi segenap hati mencintai kamu. Lelaki sewinduku, sekiranya kamu tidak terima dengan pernyataanku ini tolong jangan kamu jauhi aku, atau berubah menjadi sungkan terhadapku. Bijaklah dalam menanggapi rasaku ini, karena sekali lagi aku sampaikan apalah dayaku sebagai insan yang telah Tuhan titipkan rasa yang cukup indah? Apa dayaku untuk menolak rasa yang Tuhan berikan atas kamu? Aku hanya akan menghilangkannya jika Tuhan sendiri yang meminta, aku hanya akan merelakan rasa ini pergi jika Tuhan yang mengambilnya kembali dariku. Terimakasih untuk pelajaran tentang rasa cinta selama delapan tahun ini, meskipun kamu tidak mengajariku secara langsung namun aku belajar banyak tentang anugerah dari Tuhan (cinta) ini, ada kesetiaan didalamnya, ada ketulusan didalamnya, ada penantian yang panjang didalamnya, ada luka yang amat pedih didalamnya, ada keikhlasan didalamnya, ada kerelaan hati didalamnya, ada pengertian didalamnya, ada support yang membangun didalamnya, dan ada hati yang tangguh untuk mengakui ini semua. Terimakasih, lelaki sewinduku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar