Aku
tahu setiap orang pasti punya pengalaman pribadi bersama Tuhannya. Dalam
tulisan kali ini aku hanya ingin membagi sedikit cerita kebersamaanku bersama
Tuhanku, Yesus Kristus. Membagi sedikit pengalamanku bersama kebaikan Tuhanku
dari salah satu aspek kehidupanku. Aku berdiri menyaksikan sendiri betapa
baiknya Tuhan Yesus dalam aspek kehidupanku yang satu ini, yaitu dalam
pendidikanku. Disini aku tidak akan menceritakan bagaimana riwayat prestasi pendidikanku
dari Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA), melainkan akan bercerita
bagaimana Tangan Tuhanku bekerja dalam pendidikanku.
Semua
itu berawal saat aku lulus SMA, seperti halnya siswa SMA lainnya yang memiliki
mimpi untuk melanjutkan sekolah ke bangku perguruan tinggi yang di inginkan. Demikan
halnya aku juga memiliki mimpi untuk dapat melanjutkan sekolah ke bangku
perguruan tinggi yang aku inginkan dan fakultas yang aku mau. Teman-teman
sekolahku sibuk mendaftar kesana-kemari, mengikuti berbagai macam les untuk
persiapan ujian masuk perguruan tinggi. Sedangkan aku? Aku masih saja belum
menentukan jalan apa yang harus aku tempuh, aku hanya memperhatikan
teman-temanku sibuk mengakses informasi pendaftaran, sibuk mendaftar, sibuk les
ini-itu, sibuk-sesibuknya. Aku dengan keterbatasan informasi dan minim
pengetahuan tentang macam-macam jalur pendaftaran ujian di perguruan tinggi
dengan percaya diri hanya mendaftar melalui SNMPTN saja, pilihan perguruan
tinggi yang aku pilih dalam kartu ujianku pun tidak aku pertimbangkan dengan
matang peluang masuknya. Saat itu aku hanya memilih berdasarkan keinginan atau
egoku saja, Universitas Negeri Jakarta, fakultas MIPA Biologi dan Universitas
Medan (UNIMED), fakultas Biologi. Lagi-lagi dengan rasa percaya diri yang
tinggi (tanpa diimbangi informasi peluang masuk lewat jalur SNMPTN) aku percaya
akan lulus ujian. Bukan tanpa sebab juga rasa percaya diriku sangat tinggi kala
itu, aku melihat nilai rerata rapot mata pelajaran biologiku dari kelas Satu
SMA sampai kelas Tiga SMA menyentuh angka sembilan bahkan nilai UAN biologiku
delapan, jadi aku berpikir aku pasti lulus.
Saat
waktu ujian tiba, dengan semangat aku pergi ke lokasi ujian diantar sama papa. Aku
juga melihat semangat yang sama diwajah papaku, dan ia dengan setia menunggu
ujianku selesai. Saat pengerjaan soal ujian, tidak ada kesulitan yang cukup
menyulitkanku dalam menyelesaikan soal-soal ujian tersebut. Satu per satu mata
pelajaran yang di ujikan bisa aku selesaikan dengan cukup baik. Aku merasa aku
mampu kok mengerjakan soal ujian itu, aku merasa hebat dapat menyelesaikan soal
ujian-ujian itu lima belas menit sebelum bel usai berbunyi. Melihat kemampuanku
itu, aku lagi-lagi merasa percaya diri (cenderung sombong mungkin) aku pasti
lulus. Aku tidak memperhatikan apakah Tuhan turut bekerja saat aku
menyelesaikan soal-soal ujian itu, seperti pada saat aku menyelesaikan soal UAN
(Ujian Akhir Nasional) beberapa waktu yang lalu? Ada hal yang aku lupakan saat
itu, yaitu berserah dan menyerahkan semuanya pada Tuhan seperti yang aku
lakukan beberapa waktu lalu di UAN, namu semua itu terlambat aku sadari. Tiba
saat melihat pengumuman hasil ujian SNMPTN, du........aa........rr
nomor peserta dan namaku tidak ada diantara barisan nomor dan nama peserta
ujian yang terpampang dipengumuman, ini artinya aku TIDAK LULUS. Melihat hasil
itu, seketika aku lemas, menangis, kecewa, marah, dan kesal. Di tambah lagi aku
mendapat tekanan emosi yang sama dari bapa yang juga sangat kecewa terhadap
hasil yang diterima.
Papa
merasa semua yang dia lakukan sia-sia, dia merasa sia-sia sudah mengantarkan
aku ke lokasi ujian, dia merasa uang yang dia keluarkan untuk pendaftaran itu
sia-sia saja. Bisa dibayangkan bagaimana
down nya keadaan mentalku kala itu,
disatu sisi aku marah dan kecewa sangat berat terhadap diriku sendiri, disisi
yang lain aku menerima kekesalan dan kekecewaan, serta cacian dari orangtua
yang selama ini menjadi panutanku. Iya. Cacian. Ada kalimat yang keluar dari
mulut papa saat melihat hasil pengumuman itu tidak sesuai harapannya, “Bodoh
kau! Bodoh! Masak gitu aja nggak bisa lulus! Bodoh! Buang-buang duit aja kau.
Nggak usah kuliah, kalau nggak bisa dapat Universitas Negeri”. Lihat? Anak mana
yang tidak semakin down mentalnya
saat mendengar kalimat penghakiman seperti itu dari orangtuanya sendiri?. Aku
tidak merasa sakit hati atas penghakiman yang dilakukan oleh papaku sendiri,
aku malah semakin merasa bersalah karena sudah mengecewakannya, memupuskan
harapannya yang besar terhadapku. Aku tidak membencinya karena penghakiman itu,
aku membenci diriku sendiri mengapa aku tidak mampu membuatnya merasa bangga
(lagi) terhadapku? aku terus saja memarahi diriku sendiri atas kegagalanku ini.
Bahkan saat itu aku meluapkan emosi kemarahanku pada Tuhan, aku marah padaNya,
aku menanyakan pada Tuhan “Kenapa Tuhan membiarkan ini terjadi? Mengapa Tuhan
membiarkan kegagalan ini menyentuh kehidupanku? Bukankah anak-anak Tuhan itu selalu
menerima apa yang menjadi keinginannya? Mengapa Tuhan tidak memberikan apa yang
menjadi keinginanku (lagi)? Apa aku kurang setia terhadap Tuhan? Apakah selama
ini pelayananku sia-sia dimata Tuhan, sehingga Tuhan membiarkan kegagalan
menghampiriku?”. Ditambah lagi dengan keputusan papaku yang tidak akan
mengizinkan aku kuliah di Universitas Swasta, Ia menyuruhku untuk berhenti diam
dirumah sampai tahun depan, saat ada ujian masuk Universitas Negeri lagi. Sejak
saat itu, hampir tiga bulan aku berjalan sendiri, merasa ditinggalkan oleh
Tuhan Yesus, aku merasa “Sudahlah percuma saja aku menangis dihadapan Yesus”. Selama tiga bulan aku menjauhi semua aktivitas
yang membuat aku dekat denganNya entah itu pelayananku ataupun doa tengah
malam, selama tiga bulan aku meratap diatas kegagalanku, dan selama tiga bulan
aku terus menyalahkan diriku. Sampai suatu ketika, saat aku mulai lelah
menyalahkan diriku, saat aku mulai lelah menangisi kegagalan ini, saat aku
lelah memusuhi Yesus, namun Yesus selalu saja menunjukkan kasihNya dengan setia
selama tiga bulan itu, saat aku sangat lelah berdiri sendirian tidak ada
sahabat, teman, ataupun support dari orangtua sendiri, aku mencari DIA, YESUS.
Aku meminta pengampunan, aku meminta maaf atas segala sikapku selama tiga bulan
itu, aku tahu itu sudah menyakiti hatiNya. Aku menangis terisak dibawah
kakiNya, aku merasa sangat rendah sekali dihadapanNya. Aku katakana padaNya
“Tuhan, aku rindu Engkau, aku rindu jamahanMu, aku rindu pemulihanMu, aku
mengakui kesalahanku ini Ya, BAPA. Ampuni aku yang telah menyakitiMu, Tuhan
apapun yang telah terjadi terhadapku beberapa bulan ini, aku tahu itu adalah
bagian dari rencanaMu, dan aku percaya semua itu baik untukku. Bila harus aku
merasakan kegagalan ini, aku sadar Engkau sedang mengukir sesuatu yang lebih
indah untuk masa depanku. Maafkan aku yang terlalu egois ini BAPA, maafkan aku
yang terlalu memaksakan kehendaku terhadapMu. Aku mau kembali berserah dan
menyerahkan seluruh kehidupanku, baik itu study ataupun masa depanku.” Ya. Hal
itulah yang aku sampaikan kepada Tuhanku dan boleh percaya atau tidak sesaat
setelah aku mengucapkan itu aku merasakan tangan Tuhan bekerja sangat cepat dan
tepat. Aku merasa lebih baik dari sebelumnya, aku merasakan kebebasan dan
kelegaan hati yang amat sangat bebas.
Dari
situlah titik balik dari semua keadaanku, aku yang beberapa bulan ini menjadi
pemurung, mudah tersinggung dan selalu patah semangat berbalik arah menjadi
orang yang benar-benar berbeda seratus delapan puluh derajat. Ini semua benar
terjadi, bukan rekayasa yang sengaja aku tulis. Aku menjadi orang yang sangat
bersemangat, riang, menjadi lebih bijak memandang suatu hal yang terjadi,
menjadi lebih dewasa dalam berpikir, dan satu hal yang kembali lagi didalam
diriku yaitu sikap berserah pada Tuhan dan pantang menyerah pada keadaan. Aku
merasa imanku ditempa sangat hebat oleh Tuhan dan kasihNya benar-benar DIA
curahkan lebih dari sebelumnya. Ya intinya aku bangkit dari kegagalan dan Move Up bersama Yesus. Aku memutuskan
untuk mencari pegalaman bekerja sampai waktu ujian masuk Universitas Negeri
dibuka kembali. Sekitar awal tahun, dua hari setelah usiaku genap delapan belas
tahun aku mencoba mempersiapkan semua kebutuhan melamar pekerjaan. Disini pun
aku mengalami hambatan di Ijazah Sekolah Menengah Atasku, semenjak pengumuman
ujian itu, papaku bukan hanya menghukumku dengan penghakiman dan skorsing waktu
kuliah, tapi juga membiarkan ijazahku tertahan di SMA karena tidak mau
mengeluarkan biaya untuk membayar sisa cicilan uang pembangunan sekolah (Dana
Pembangunan Sekolah) yang tinggal Rp. 400.000,- lagi. Namun aku tidak
kehabisan cara, “Rotan tak ada, akar pun jadi” peribahasa itu mungkin tepat
dengan apa yang aku lakukan ini. Aku melamar pekerjaan dengan menggunakan
Ijazah SMP, aku katakan pada Yesus “aku hanya ingin mendapatkan pekerjaan untuk
sekedar menebus ijazah SMA ku dan untuk biaya pendaftaran-pendaftaran ujian
masuk di perguruan tinggi, tolong bantu aku mendapatkannya”. Ya, motivasi
itulah yang menguatkan tekadku mencari pekerjaan, dan cuma iman kepada Tuhan
Yesus yang memampukan aku berjalan dengan penuh keyakinan “sekali melamar dapat
kerja”. Dan itu boleh dipercaya, itu semua benar-benar terjadi. Aku hanya
mendatangi satu Pabrik yang berada di daerah Karawang yang sedang membutuhkan
karyawan di segala bagian, dimana kala itu ada bagian administrasi untuk yang
berijazah SMA, bagian Helper berijzah SMA, dan Sewing (operator jahit)
berijazah SMP, dan mengikuti test pada hari itu, serta menerima hasil test hari
itu juga. Test yang dilakukan oleh Pabrik Tas brand NIKE itu
sangat sederhana, bagi mereka yang mengenal seluk-beluk menjahit dan
perlengkapannya mungkin dengan mudah dan percaya diri akan diterima bekerja
disana. Sedangkan aku? Aku tidak tahu apa-apa tentang bagian-bagian mesin
jahit, ataupun cara menjahit yang benar. Mengetahui kalau testnya itu
berhubungan dengan mesin jahit, cara memasukkan benang jahit dengan benar, dan
menjahit dengan pola lurus, zigzag dan melingkar, aku gugup setengah mati.
Apakah aku mampu melewati test ini sedangkan aku tidak pernah bersentuhan dengan
mesin jahit dan cara-cara menjahit dengan mesin?. Saat itu memang ada rasa
tidak percaya diri, rasa yang melemahkan iman percayaku beberapa persen, namun
aku hanya bisa berserah pada Tuhan. Aku berserah pada Tuhan apapun yang terjadi
hari ini, hasil apapun yang aku terima hari ini dari test kerja, baik itu gagal
atau lolos itu semua terserah Yesus. Ya saat itu aku hanya meyakinkan diriku
“aku mampu melewati ini apapun hasilnya aku terima dengan sukacita”. Meskipun
begitu aku tetap melakukan tawar-menawar dengan Tuhan Yesus agar mau memberikan
pekerjaan ini untukku.
Ketika
giliranku mengikuti test, stafnya menanyakan padaku apakah aku punya pengalaman
menjahit?. Ya tentu aku jawab tidak. Kemudian dengan perlahan staf itu memberi
contoh cara memasukan benang jahit yang benar, mencontohkan cara menjahit
dengan pola zigzag, lurus dan melingkar padaku. Setelah itu aku disuruh
mengulanginya, jika tidak bisa aku dianggap gagal mengikuti test hari ini dan
disuruh kembali esok harinya. Kala itu, yang ada dipikiranku, Mengapa staf itu
memberi contoh terlebih dahulu terhadapku sedangkan kepada peserta lain tidak
memberikan contoh terlebih dahulu padahal diantara kami ada yang sama-sama
tidak memiliki pengalaman menjahit? Ah. Tapi hal itu aku biarkan tidak
terjawab, aku hanya fokus terhadap test ini. Setelah test usai, kami para
peserta test diminta untuk menunggu beberapa jam untuk mendengarkan
pengumumannya. Ada sekitar 4-5 jam aku dan peserta lain menunggu hasil
pengumuman di pabrik itu, dan akhirnya penantianku yang berjam-jam itu
terbayarkan dengan hasil yang aku inginkan yaitu “Diterima Bekerja”. Aku sangat
bersyukur, dalam perjalanan pulang aku sempat meneteskan airmata saat mengucap
syukur pada Tuhan. Inilah dasar dari segala yang kuharapkan, bukti dari segala
yang tak kulihat, Iman memberikanku kekuatan untuk melakukan perkara yang
hebat, dan itu semua hanya dilakukan bersama Tuhan. Hal yang tidak pernah bisa
aku lakukan, dengan Iman ternyata bisa aku lakukan dan lewati, dan apa yang
kuterima saat itu bukan karena kekuatanku melainkan karena kebaikan Tuhan dan
kasihNya Tuhan terhadapku. Sungguh hal yang diluar pikiranku, namun Tuhan
nyatakan dengan sangat indah. Semenjak diterima bekerja, aku lebih bisa
menghargai yang namanya hidup, aku bisa mengatakan bahwa ternyata hidup adalah
anugerah yang Tuhan berikan, dan sudah seharusnya dalam hidupku menyenangkan
Tuhan, Sang pemberi Anugerah. Sudah seharusnya pula aku mengucap syukur atas
semua pemberian Tuhan, baik itu masalah, berkat, atau apapun itu. Karena
sejatinya semua yang Tuhan berikan itu adalah cara Tuhan menempa karakter Iman,
Rohani, dan Jasmaniku.
Selama
tiga bulan aku bekerja di Pabrik itu, karena memang masa kontraknya cuma tiga
bulan, lalu kalau selama tiga bulan itu terlewati dengan baik akan ada
pengangkatan karyawan tetap. Dan selama tiga bulan itu, jalanku tidak selalu
tanpa kabut yang pekat, ada-ada saja yang terjadi didalamnya. Ya. Namanya juga
anak baru jadi wajar saja jika ada masalah dengan pekerjaan dan supervisior.
Selain itu, ada-ada juga permasalahan keluargaku dirumah yang terkadang membuat
aku tak bisa membendung airmata tapi tetap mampu bersukacita. Namun sekali lagi
aku hanya memandang pada Yesus dan berserah pada Yesus. Aku membiarkan dengan
Iman, tangan Tuhan yang bekerja atas semua yang terjadi di kehidupanku. Selama
bekerja, berat badanku naik, dan aku merasa sangat bebas menjalani apapun yang
ada di depanku. Tidak ada lagi tangis semalam suntuk, ataupun keluh kesah
semalam suntuk. Aku selalu bisa mengucap syukur, dan bersukacita. Semua yang
pernah aku minta pada Yesus diawal aku mencari pekerjaan, yaitu menebus ijazah
SMA sudah tercapai, dan Tabunganku pun cukup untuk mendaftar ujian masuk
perguruan tinggi jadi aku tidak perlu lagi meminta orangtuaku mengeluarkan
biaya-biaya pendaftaran dan ongkos ke lokasi ujian. Setidaknya ini bisa sedikit
meringankan beban orangtuaku, dan membiarkan orangtuaku fokus terhadap biaya
perkuliahanku nanti. Selama tiga bulan itu aku bekerja dan mempersiapkan diri
semaksimal mungkin untuk mengikuti ujian, bekerja sambil belajar. Pulang kerja,
tidak ada waktu untuk bermain aku hanya berkutat dengan buku buku pemantapan
ujian.
Waktu
pendaftaran ujian masuk perguruan tinggi pun tiba, kali ini aku mengikuti Ujian
Masuk (UM) UNJ, dan SNMPTN lagi. Keduanya berlangsung di UNJ Jakarta, dan
Universitas Indonesia (UI) Depok. Untuk ujian masuk Universitas Negeri Jakarta
(UNJ) aku mengambil fakultas Psikologi dan Bimbingan Konselling, karena menurut
informasi yang ada peminatnya di tahun lalu sangat sedikit dan peluang masuknya
pun sangat besar. Sedangkan untuk ujian masuk melalui SNMPTN, Universitas dan
fakultas yang aku ambil itu masih Universitas Negeri Medan (UNIMED) fakultas
Pendidikan Biologi, dan Universitas Mulawarman Kalimantan (UNMUL) fakultas
Kehutanan. Aku sengaja mengambil Universitas Mulawarman fakultas kehutanan,
karena memang jaranga da yang minat ke fakultas itu. Aku tahu bahwa persentase
kelulusan setiap peserta SNMPTN itu masing-masing peserta hanya 0,09 %, hal ini
dikarenakan peminat dan pesertanya semakin tinggi dari seluruh pelosok
Indonesia. Dan kali ini, aku sudah mempersiapkan diri dari segala kemungkinan
terburuk sekalipun bahkan kedua orangtuaku pun sudah aku ajak berbicara dengan
baik-baik tentang semua kemungkinan yang terjadi. Puji Tuhan, mereka sedikit
mengerti walau hanya sedikit tapi itu cukup membuatku tenang akan reaksi mereka
nanti jika hal buruk yang terjadi. Kali ini aku lebih siap menerima apapun yang
terjadi, mungkin karena aku lebih memilih menyerahkan semuanya pada Yesus dan
mempercayai rancangan yang telah disediakan oleh Tuhan untuk masa depanku.
Singkat cerita, ujianku berlalu dan aku tinggal menunggu hasilnya saja. Dan
ketika hasilnya adalah kegagalan lagi untuk kedua kalinya, aku merasa lebih
baik dari sebelumnya meskipun lagi-lagi papaku kecewa. Tapi ya inilah jalanku,
Tuhan tidak mengizinkan aku untuk menikmati jenjang pendidikan di Universitas
Negeri. Bukan tanpa sebab hal ini terjadi, aku yakin Tuhan sudah
mempertimbangkan semuanya dengan baik mulai dari kemampuanku dan kemampuan ekonomi
keluargaku. Aku yang sudah berserah dan memutuskan tekad memilih Universitas
swasta saja yang ternyata tidak diimbangi oleh keputusan papaku. Dia tetap saja
berupaya mencari celah agar aku diterima masuk kuliah di Unversitas Negeri
Jakarta, dia mencari chanel belakang
untuk memudahkan aku masuk ke UNJ, dia bersedia membayar seberapa besar biaya beli kursi cuma untuk mementingkan
gengsinya dihadapan rekan-rekan kerjanya serta sanak saudara. Aku mengatakan
padanya untuk apa membuang-buang uang dengan percuma untuk membeli kursi? Itu
uang baru beli kursi saja belum biaya kuliah dan biaya hidup di Jakarta nanti.
Aku bersikeras menolak masuk lewat jalur belakang itu, karena menurutku hal itu
akan menyusahkan dirinya sendiri saja, dan membuat beban baru. Aku berseru pada
Yesus mengatakan kenapa orangtuaku tidak bisa menyingkirkan egonya dan kenapa
harus merasa menjaga gengsi seperti itu? Aku tahu, Yesus lebih paham tentang
jalan masa depanku. Aku tak mengelak jika memang ada rasa kecewa dalam hatiku
atas kegagalanku yang kedua ini, tapi apa gunanya jika aku bersikap seperti
saat aku gagal untuk yang pertamakali? Kali ini aku berpikir “out of the box”, dimana pun nanti aku
menempuh pendidikan selanjutnya, aku tahu itu sesuai dengan kemampuanku dan
kemampuan ekonomi keluargaku. Aku yakin Tuhan sudah memikirkan semuanya sampai
akhir nanti saat gelar sarjana ada ditanganku. Aku berusaha membujuk papaku agar
mau melunakan ego dan gengsinya sedikit demi masa depanku. Aku berusaha
memberikan pilihan-pilihan universitas yang memang sedikit meringankan biaya
dan beban mereka. Ada Universitas Sahid Jakarta yang memberikan aku beasiswa
selama 3 semester pertama, namun papaku menolak dengan alasan fakultas yang aku
ambil di Universitas Sahid (fakultas hukum) itu percuma, kalau mau ambil
fakultas hukum lebih baik aku dikirim ke Kalimantan saja katanya seperti itu.
Dan ada beberapa Universitas lainnya lagi yang sama-sama memberikan aku
beasiswa selama 3-4 semester pertama perkuliahan (diantaranya Universitas
Sisingamangaraja Medan), namun tetap saja ditolak oleh papaku. Disini
kesabaranku sedikit di uji, aku tidak bisa memahami jalan pikiran orangtuaku
yang satu ini. sampai ketika ada orang yang menunjukan (memperkenalkan)
kampusku sekarang ini kepada papaku, entah kalimat apa yang disampaikan orang
itu sampai-sampai papaku berubah pikiran menjadi bersedia menguliahkan aku di
Universitas swasta. Tak perlu panjang lebar bagaimana aku bisa sampai
dikampusku sekarang ini, STKIP SUBANG, dan tak perlu aku ceritakan apakah aku
senang berada dan menjadi bagian kampus itu. Yang jelas adalah ini semua
kemurahan Tuhan dan kebaikan Tuhan bekerja untukku selama aku berada dikampus
STKIP SUBANG sampai saat ini dan akhir nanti gelar sarjana aku dapatkan.
Semester
awal atau tingkat pertama aku berada dikampus itu, aku kost seorang diri.
Sungguh kota mati, Subang itu. Aku tidak habis pikir kenapa aku bisa sampai
disini? Bagaimana tidak aku sebut kota mati, jam 4 sore kebawah sudah tidak ada
kendaraan umum untuk bepergian kemana-mana. Dibawah jam 4 pun suasana sudah
mulai mencekam, sepi, gelap, dan scary sekali untuk seorang anak gadis. Namun
setidaknya aku tidak sendiri, ada empat temanku seperjuangan yang selalu
menemaniku dan mereka ini adalah “burung
gagak” yang menjagaku dan memeliharaku selama semester awal dan sampai
sekarang. Tuhan bekerja memang diluar pikiran manusia, burung gagak pun IA pakai untuk memeliharaku selama tingkat pertama
perkuliahan. Mereka selalu memberikan keceriaan, mereka selalu tidak sungkan
memberikan apa yang mereka punya, aku belajar arti “memberi” dari mereka.
Selain dari mereka, ada lagi yang Tuhan kerjakan untuk menjaga kebutuhanku
selama dikostan, ini boleh dipercaya atau tidak, namun hal ini memang terjadi
bahkan sampai detik ini pun aku masih merasa “ini hebat”. Sewaktu uang jajanku di dompet mulai menipis, hampir
setiap harinya, saat waktu pulang kuliah ada saja sejumlah uang yang aku
temukan di jalan menuju kostanku. Entah itu dua puluh ribu, tiga puluh lima
ribu, bahkan lima puluh ribu rupiah aku temukan di jalan menuju tempat kostku.
Ini memang sulit dipercaya, tapi ya memang itu yang terjadi, ternyata Tuhan
tidak pernah membiarkan siapapun anakNya yang berserah kepadaNya kekurangan
sedikitpun. Aku selalu terpelihara oleh kemurahanNya setiap hari, walau melalui
cara yang tidak masuk akal seperti itu. Terlihat betapa baikNya Tuhan Yesus
padaku, saat aku menolak dengan keras berada di tempat itu, dengan gigih pula IA
menunjukan kasihNya, kebaikanNya padaku. Aku melihat dan belajar bahwa ternyata
apa yang menurut pandanganku tidak baik, belum tentu tidak baik dimata Tuhan.
Apa yang aku mau, belum tentu yang aku butuhkan. Yang mampu aku lakukan hanya
satu, yaitu mensyukuri apapun yang Tuhan berikan, mensyukuri dimana pun Tuhan
meletakkanku. Hal ini terbukti sampai saat ini, aku mampu menjadi mahasiswi
yang berani berbicara di depan umum, aku mampu menjadi mahasiswi yang indeks
prestasinya cukup baik bahkan sampai di tingkat akhir ini Tuhan selalu
mencukupkan apa yang menjadi kebutuhan perkuliahanku, Tuhan selalu mengadakan
apa yang aku perlukan untuk perkuliahanku dengan tepat waktu. Meskipun
perjalananku sampai ditingkat akhir ini banyak kerikiril-kerikil yang
menyulitkan langkahku, banyak masalah yang silih berganti masuk dalam
kehidupanku, banyak hal yang terkadang melemahkan Imanku namun jauh di dalam
lubuk hatiku aku selalu mengingat Yesus, selalu mengandalkan Yesus bahkan hanya
berani menangis dihadapanNya saja. Hanya bersama Yesus aku mampu tersenyum
dalam sesaknya masalah yang silih berganti itu, hanya bersama Yesus aku mampu
berdiri setegar karang karena kekuatanku ya hanya Yesus. Terlalu banyak
kebaikanNya yang aku terima sampai saat ini, aku benar-benar merasa sangat
beruntung memiliki Tuhan Yesus yang penuh dengan kasih. Hanya Yesus, hanya
Tuhan Yesus yang mampu mengukir aku seindah ini.
Sekiranya
tulisan ini hanyalah sedikit caraku mengucap syukur pada Tuhan atas semua
kebaikanNya dan KemurahanNya padaku. Dan ini hanya sekeping caraku membagi rasa
syukurku atas apa yang aku terima dari pada Tuhan Yesus. Manusia mana yang bisa
setia berada disampingmu dan dapat selalu kamu andalkan saat susah ataupun
senang? Adakah? Tidak. Karena manusia (siapapun itu, sahabat, kekasih, saudara,
orangtua) memiliki keterbatasan yang sama denganmu, hanya Tuhanmu, hanya
Tuhanku saja yang mampu setia dan dapat selalu diandalkan di setiap langkah.
Sebelum aku mengakhiri tulisanku ini, ada sebait suratku untuk Tuhanku, Yesus
Kristus.
“Ya, BAPAku yang baik, apalah aku dihadapanMu? Aku ini cuma
seonggok daging yang tidak pernah lepas dari kesalahan, yang disengaja ataupun
tidak disengaja. Maafkan aku BAPA, sampai saat ini aku masih saja belum mampu
melakukan yang sesungguhnya menjadi kerinduanMu terhadapku. Namun percayalah
Tuhanku, hatiku selalu tertuju padaMu BAPA. Dan hanya BAPA yang selalu aku
jadikan tempat bersandar, aku benar-benar hilang arah jika aku jauh dari
dekapanMu, BAPA. Aku membutuhkanMu, BAPA melebihi nafasku yang selalu
berhembus. Semua yang sedang dan akan terjadi di dalam hidupku, hanya aku
taruhkan kedalam tanganMu, BAPA. Aku hanya mau memandang Engkau, ya BAPA.
Pengharapanku hanya padaMu, BAPA. Inilah hatiku, aku tahu Kau lebih mengenal
aku dan hatiku. Terimakasih BAPA, aku
selalu merindukanMu. Iya, selalu merindukan kehadiranMu dalam setiap jengkal
kehidupanku. Tetaplah berada disampingku BAPA, aku akan terus berjuang untuk
tetap setia sampai Kau memanggilku kembali bersamaMu di singgah kerajaanMu”
Sekali
lagi, terimakasih Yesusku atas seluruh kebaikanMu. Aku akan terus belajar
mencintaiMu lebih lagi sampai nanti aku kembali padaMu.